Rabu, 31 Oktober 2012

konseling analisis transaksional (KONSISTRAN)



MODEL KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL
(KONSISTRAN)

Makalah
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Kelompok
Dalam Mata kuliah Model-Model Konseling
Semester V Jurusan BPI - C
Tahun Akademik 2012/2013
O l e h
Kelompok IV
1.      Welisa Sefta Andani             : 210.163
2.      Siti Aisyah Pohan                 : 210.150
3.      Ita Sarmanova                       : 210.191
4.      Syaiful Ikhwan                     : 210.159
5.      Saumi Fauziah                       : 210.187
6.      Salvia Malindo                      : 210.135

Dosen Pembimbing:

Dra. Zuwirda, M.Pd. Kons

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)-C
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2012 M / 1433 H
KATA PENGANTAR
بسم لله الر حمن الرحيم
            Puji syukur pemakalah panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam pemakalah haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

            Pada kesempatan ini pemakalah mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing pemakalah dalam menyelesaikan makalah ini. Selain itu pemakalah juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan segala pihak yang telah membawa pemakalah menyelesaikan makalah ini.

            Dalam makalah ini pemakalah akan menguraikan pembahasan yang berkenaan dengan “Model Konseling Analisis Transaksional (konsistran)”.

            Pemakalah juga menyadari bahwa makalah ini juga belum sempurna. Oleh sebab itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga pemakalah dapat menyempurnakan ini di masa mendatang.







                                                Padang, 25 oktober 2012



Pemakalah













BAB
PENDAHULUAN
Analisis transaksional (TA) merupakan teori kepribadian dan sistem yang terorganisir dari terapi interaksional. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa disaat kita membuat keputusan berdasarkan premis-premis masa lalu yang pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan kelangsungan hidup kita tetapi yang mungkin tidak lagi berlaku.
Tujuan dari analisis transaksional adalah otonomi, yang didefinisikan sebagai kesadaran, spontanitas, dan kapasitas untuk keintiman. Dalam mencapai otonomi orang mempunyai kapasitas untuk membuat keputusan baru (redecide), sehingga memberdayakan diri mereka sendiri dan mengubah arah hidup mereka.
Sebagai bagian dari proses terapi TA, klien belajar bagaimana mengenali tiga status ego Parent, Dewasa, dan Anak di mana mereka berfungsi. Klien juga belajar bagaimana perilaku mereka saat ini sedang dipengaruhi oleh aturan-aturan yang mereka terima dan dimasukkan sebagai anak-anak dan bagaimana mereka dapat mengidentifikasi “lifescript” yang menentukan tindakan mereka.
http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:gVZcjH3fYc7AyM:http://kenoath.files.wordpress.com/2009/08/ericberne555.jpg
Eric Berne



BAB
PENUTUP
KESIMPULAN
Pendekatan analisis transaksional dipelopori oleh Erick Berne dan dikembangkan semenjak tahun 1950. Transaksional maksudnya ialah hubungan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Adapun hal yang dianalisis yaitu meliputi bagaimana bentuk cara dan isi dari komunikasi mereka. Setelah itu, dapat menggambarkan apakah seseorang tersebut sedang mengalami masalah atau tidak.
 Analisis transaksional berpendapat bahwa dalam kepribadian seseorang terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan. Pendekatan ini juga menekankan fungsi dan pendekatan ego.
1.      Ego child   : reaksi emosional yang spontan, humor.
2.      Ego parent : membimbing, mengarahkan, membantu dan merawat.
3.      Ego adult   : rasional, objektif dan bertanggungjawab
Ini terbentuk pada 5 tahun pertama. Ego diistilahkan dengan ego state (pernyataan ego). Perasaan dan kondisi psikis dan pola-pola tingkah laku. Setiap manusia ingin mendapatkan sentuhan yang bersifat fisik dan psikis. Pemakaian Ego state itu yakni :
1.      Normal                  : berfikir dan merasa sesuai dengan kondisi
2.      Terselubung           : tidak dapat mengungkapkan emosi
3.      Kaku                     : hanya menampilkan satu egostate dalam setiap keadaan.
Motivasi Hidup :
1.      Memenuhi kebutuhan fisik.
2.      Memenuhi kebutuhan psikologis, Ingin mengatur waktu dengan pola WIRPAGIN, ingin mengisi waktu.
3.      Ingin memiliki posisi hidup. (SOKO, SOKTO, STOKTO, STOKO).
4.      Pemakaian ego state tunggal
Tujuan Konseling analisis transaksional ini yaitu untuk mencapai egostate adult. adapun proses konselingnya melalui tahap-tahap  :
1.      Analisis struktur
2.      Analisis transaksi
3.      Analisis permainan (game)
4.      Analisis naskah hidup (life script)
Adapun karakteristik konselor; hangat dan terbuka. Teknik konseling yang digunakan adalah :
1.      Permission
2.       Protection
3.       Potency
adapun operation dari Konsistran ini yaitu :
a.       Interrogation
b.      Specification
c.       Confrontation
d.      Explanation
e.       Illustration
f.       Confirmation
g.      Interpretation
h.      Crystallization











DAFTAR KEPUSTAKAAN
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita, Kerangka Konseling Elektik. Padang : FIP IKIP
Taufik. 2009. Model-model konseling. Padang: Jurusan BK FIP UNP
Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek, Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Muhammad Surya. 2003. Teori-teori Konseling. Bandung: Pustaka Bany Quraisy

BAB
PEMBAHASAN
A.    Pengantar Konsistran
Pendekatan analisis transaksional dipelopori oleh Erick Berne dan dikembangkan semenjak tahun 1950. Transaksional maksudnya ialah hubungan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Adapun hal yang dianalisis yaitu meliputi bagaimana bentuk cara dan isi dari komunikasi mereka.
Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan apakah transaksi yang terjadi berlangsung secara tepat, benar dan wajar. Bentuk, cara dan isi komunikasi dapat menggambarkan apakah seseorang tersebut sedang mengalami masalah atau tidak.
Analisis transaksional berpendapat bahwa dalam kepribadian seseorang terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan. Pendekatan ini juga menekankan fungsi dan pendekatan ego.
B.     Pandangan Konsistran Tentang Manusia
Pandangan analisis transaksional tentang hakekat manusia ialah pada dasarnya manusia mempunyai keinginan atau dorongan–dorongan untuk memperoleh sentuhan atau “stroke”. Sentuhan ini ada yang bersifat jasmaniah dan rohaniah serta yang berbentuk verbal dan fisik. Yang menjadi kepribadian seseorang ialah bagaimana individu memperoleh sentuhan melalui transaksi. Penampilan kepribadian seseorang terbentuk dari naskah hidup (life script) seseorang yang telah terbentuk sejak usia muda.
C.    Struktur Kepribadian Konsistran
1.      Setiap individu (baik dewasa, anak-anak, maupun orang tua) merupakan kesatuan dari tiga ego state (pernyataan ego) (ES), seperti dikutip Taufik (2009) dalam Hansen, dkk (1977), yaitu :
a.       Ego State Parent/exteropsychic (ESP) : diwarnai oleh perintah, menasehati, menunjukkan figur kekuasaan, peringatan, sanksi, dan berorientasi pada nilai/moral, dan cenderung statis.
ESP ini terbagi 2 :
1.      Critical Parent (orang tua yang selalu mengkritik), merupakan bagian penampilan ego state yang kurang baik, berbentuk omelan, judes, mengkritik dsb.
Misalnya, seperti orang tua yang berkata “anak-anak sekarang maunya enak sendiri, tidak peduli dengan kesulitan orang tua”, dll
2.      Nurturing Parent (orang tua yang merawat), yang merupakan penampilan ego state yang dinilai baik, wujudnya seperti tingkah laku yang sifatnya merawat.
Misalnya, orang tua berkata “mari saya bantu”, “jangan terlalu manja”, dll.
b.      Ego State Adult/neopsychic (ESA) : berorientasi pada fakta dan diwarnai oleh pertanyaan apa, mengapa, bagaimana?, realistik, apa adanya, dengan melalui proses menimbang, mengingat, memutuskan / sangat memperhitungkan fakta/kenyataan karena penekanan rasionya, dan cenderung pada perubahan (dinamis).
Contoh penampilan ego ini seperti orang yang berkata “untuk berhasil perlu perjuangan dan kerja keras”, “kita jangan terpaku pada masa lalu, tataplah masa depan dengan penuh harapan”. dll
c.       Ego state child/arheopsychic (ESC) : spontan, kreatif, senang/gembira, manja, lincah, cengeng, rewel, lucu, penuh gaya, dan banyak diwarnai oleh perasaan, dan cenderung statis.
ESC ini diwarnai oleh perasaan (feeling) yang mulai terbentuk pada usia 7 tahun pertama (A. Harris, 1987). Prinsipnya yaitu kespontanan dan kesenangan. ESC ini terbagi 3, yaitu :
a.       Adapted Child (kekanak-kanakan), merupakan unsur yang kurang baik ditampilkan seseorang dalam berkomunikasi, karena memang sering kali tidak disukai oleh orang lain dan tidak menunjukkan adanya kematangan dalam memperoleh sentuhan. Dalam suasana tertentu, penampilan unsur ini diperlukan, seperti untuk rumor dan keceriaan.
b.      Natural Child (anak yang alamiah), yakni bebas dan senang, yang dianggap baik. Penampilan unsur ini banyak disenangi orang lain saat melakukan transaksi, karena menunjukkan kealamiahan dan tidak dibuat-buat. Dengan sifatnya yang spontan, luwes dan wajar, ego state ini banyak membantu dalam pergaulan.
Misalnya, seorang anak yang gembira dengan berkata “hore.. kita dapat hadiah” / menunjukkan perasaan gembira, riang, dll.
c.       Little Profesor (merasa diri seperti/seolah-olah “ya”/”tidak”), yang ditampilkan seseorang untuk menciptakan suasana lucu dan menyenangkan. Namun jika terlalu sering, orang ini kurang dapat dipercaya, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan orang ini seringkali tidak ditanggapi dengan serius.
Misalnya, seorang anak yang meniru tingkah orang dewasa ; membaca koran dengan terbalik.
Dengan demikian untuk kita ketahui bahwasanya dalam tiap individu, ego state yang tiga diatas selalu ada, yang berbeda cuma kadarnya saja. Berapa banyak ego state yang ada dalam individu akan mempengaruhi tingkah laku orang tersebut.
Berdasarkan keberadaan ego state terdapat tiga komposisi yang ada dalam diri individu, yaitu :
1.      Ego state normal
Sesuai dengan situasi dan kondisi dimana orang itu berada. Penampilan ego state yang normal ini dapat dilihat dalam suasana yang serius.
2.       Ego state kaku
Ego state yang ditampilkannya tidak berbeda tetapi hanya satu saja.
3.      Ego state cair
Tidak ada batasan antara penampilan ego state yang satu dengan yang lain.
2.      Motivasi hidup
Pendekatan TA ini berpendapat bahwa setiap individu menanggung 2 kebutuhan :
1.      Kebutuhan fisik (makan,minum,bernapas)
2.      Kebutuhan psikis (Hansen (dalam Taufik, 2000:101)) :
a.       Stimulus hunger dan strokes : perlunya perhatian (rangsangan dan belaian) dari orang lain; juga pengakuan (bersifat jasmaniah seperti; salaman, tepukan bahu, ciuman, belaian dsb dan rohaniah seperti; perhatian, senyuman, sapaan dll, positif seperti; pujian, sanjungan, penghargaan dll /negatif seperti ; ejekan, hinaan, cemoohan dsb).
Sentuhan akan memberikan warna tersendiri bagi individu, jika sentuhan itu bersifat sistematis maka anak akan menerima apa adanya. Misalnya anak yang biasa mendengar kata-kata kasar dari orang tua, apabila dia tidak mendengar kata-kata tersebut maka ia akan merasakan keanehan.
b.      Time Structuring : pemanfaatan waktu selama 24 jam sehari dalam mengantisipasi/menerima stimulus strokes dengan pola WIRPAGIN (Hansen, dkk. 1977) :
1)      With drawl : memutuskan hubungan/menarik diri (mengisolasi diri). Individu mencari sentuhan dengan cara melakukan fantasi, bicara dengan dirinya sendiri / be alone, karena menurutnya apabila melakukan kegiatan lain akan menghadapi resiko yang cukup besar.
2)      Rituals : sekedar basa basi dalam memberikan respon terhadap rangsangan dari orang lain ; misalnya dalam membalas sapaan.
3)      Pastimes (melalukan waktu) : pembicaraan untuk sekedar mengisi waktu, berpindah-pindah, tanpa isi/tujuan tertentu. Misalnya; membicarakan anak-anak, olah raga, bencana, politik dll.
4)      Activities : melakukan suatu kegiatan yang sudah bertujuan dan ada sentuhan/keberhasilan serta manfaat (situasi guna prestasi). Misalnya; belajar, berdiskusi/membuat suatu karya tertentu.
5)      Games : bermain bersama orang lain atas dasar aturan tertentu. Dimana dalam permainan tersebut terdapat aktifitas sosial, serta terjadi transaksi yang berulang-ulang antara dua orang atau lebih. Bagi pemenang dan yang kalah dapat menerima dengan lapang hati.
6)      Intimacy (keintiman) : berhubungan amat akrab dengan orang lain. Misalnya; hubungan suami istri, bisa juga dengan gitar/buku dsb.
Pola 1 s/d 6 mengandung “jarak” tertentu antara individu yang bersangkutan dengan orang lain dan resiko tertentu yang dapat timbul dalam hubungan itu.
c.       Position hunger :
1.      Life position (lipos) : bagaimana hubungan diri sendiri dengan orang lain. Yang mulai terbentuk di awal masa kecil seseorang/bayi, seperti transaksi pertama yang kita lakukan dengan ibu kita. 4 posisi hidup yang sering dipilih seseorang sebagai berikut : (A. Harris, 1987 dalam Taufik, 2009)
a.       I’m oke – you’re oke (SOKO)
Posisi ini ialah posisi yang dipilih oleh seseorang apabila ia merasa beres dan orang lain juga beres. Hubungannya yang terjadi bersifat “evolusioner” yaitu berubah secara lambat. Ini diwarnai oleh tidak ada hal-hal yang mengganggu, negatif dll.  Misalnya; orang yang merasa bahwa ia bebas dan boleh melakukan sesuai dengan norma yang berlaku, serta orang lain menurut perasaannya juga boleh dan bebas berbuat seperti dia dan baginya tidak menjadi masalah dalam arti tidak risau, tidak ngomel/tidak menyayangkan.
b.      I’m oke – you’re not oke (SOKTO)
Posisi ini dipilih oleh seseorang apabila ia merasa posisinya beres dan posisi orang lain tidak beres. Hubungan ini cenderung untuk merubah pihak kedua dan bersifat “revolusioner” yaitu perubahan secara cepat. Dalam hal ini orang tersebut merasa bahwa apa yang dilakukan orang lain selalu “not okey”. Misalnya; orang yang selalu bersiteru dengan orang lain.
c.       I’m not oke – you’re oke (STOKO)
Orang yang berada dalam posisi ini ialah orang yang merasa dirinya tidak beres dan orang lainlah yang beres. Sifat hubungannya ini “devolusioner” yaitu berubah secara lambat. Biasanya orang yang memilih posisi ini mempunyai sifat rendah diri, merasa takut, terancam, terhina dsb.
d.      I’m not oke – you’re not oke (STOKTO)
Orang yang berada pada posisi ini merasa dirinya tidak beres dan orang lain pun dirasakan tidak beres. Hubungannya tidak jelas yaitu siapa yang mengubah siapa yang bersifat “obvolusioner”. Contohnya; orang yang putus asa, frustasi dsb.
2.      Injuction : perintah orang tua yang harus dilaksanakan ; hal ini menghasilkan STO.
3.      Permision : kebebasan bertindak bagi anak ; hal ini menghasilkan SO.
4.      Life script (liscript) : rencana hidup untuk mewujudkan life position yan telah dipilih.
5.      Counterscript (conscript) : kondisi yang berlawanan dengan life script; hal ini merupakan selingan singkat dari life script yang berkepanjangan.
3.      Transaksi : komunikasi antar individu (Gerald Corey, 1984)
a.       Complementary : sejajar (transjar)
Individu yang berkomunikasi dengan menggunakan ego state tertentu sehingganya respon yang ditampilkan oleh orang lain sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya;
Ani            : “mari kita belajar”
Rony         : “baiklah”
b.      Crossed : silang (transil)
Penampilan ego state seseorang sehingganya respon yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya;
Ibu             : “sana bersihkan kamarmu”
Imel           : “ibu tidak berhak memerintah saya, bukan ibu tuan besar di rumah ini” 
c.       Ulterior : terselubung (transbung)
Penampilan ego state seseorang yang dalam komunikasi yang memiliki tujuan terselubung dari maksud pembicaraannya.
Misalnya; Budi berkata pada temannya Rahmad yang tambah kurus saja: “bajumu kok makin besar saja”
D.    Perkembangan Kepribadian Konsistran
1.      Individu berpotensi positif, apabila diberi suasana yang baik dan menguntungkan, ia akan menjadi orang yang mampu menghadapi kenyataan.
2.      Individu berkembang sejak lahir dan dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, psikis, dan sosial-ekonomi.
3.      Lipos paling awal : SOKO. Untuk ini perlu strokes positif tanpa syarat.
4.      Hanya 1 ES yang aktif pada saat tertentu dalam berkomunikasi.
5.      Kepribadian yang sehat (merupakan hasil dari asuhan yang baik dari orang tua), menurut Hansen,dkk (1977)  bercirikan :
a.       Dimilikinya sikap hidup SOKO / “evolusioner”.
b.      Life script (naskah hidup) yang bebas dan terbuka terhadap games dan strokes
c.       Dapat mempergunakan ketiga ES dengan baik dan lentur/luwes sesuai dengan situasi dan kondisi dimana berada / fleksibel.
6.      Kepribadian yang abnormal (merupakan hasil asuhan yang kurang baik / sehat dari orang tua), Hansen dkk (1977) merumuskan empat cirinya, sebagai berikut :
a.       Kecenderungan untuk memilih posisi hidup devolusioner, revolusioner, obvolusioner atau pada dirinya ada “not Ok” / memilih STOKO. Misalnya; memilih untuk tidak berbuat yang sebetulnya perlu, memilih tidak bertanya, berhias dll.
b.      Kecenderungan untuk menggunakan ego state yang tunggal atau hanya satu saja tampil untuk situasi yang berbeda atau tidak mampu mempergunakan ketiga ES dengan baik . Misalnya; pada situasi dan kondisi yang berbeda ego state yang tampil cenderung satu saja apakah ego state adult, parent, atau selalu child.
c.       Ego state yang ditampilkannya sering terlalu “cair” sehingga tidak ada batas antara ego state yang satu dengan yang lainnya / ego statenya bolong. Ini semua berkembang menjadi “untility parenting” (orang tua yang selalu “tidak”). Orang semacam ini sering mengacaukan penampilan ego statenya pada situasi dan kondisi yang relatif sama.
d.      Ego statenya tercemar. Misalnya; ego state adult dicemari oleh ego state child dan ego state parent. Bentuk nyatanya berwujud prasangka yaitu menganggap sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan. Bentuk lainnya yaitu delusi yakni melihat sesuatu tidak sebagaimana mestinya /berpandangan salah tanpa mau mendengarkan mana yang benar . Kontaminasi bentuk ini dapat merusak persepsi dan akhirnya merusak penyesuaian diri.
Lipos (dan liscript-nya) yang dipilih cenderung menjadi dasar bagi pembentukan tingkah laku individu yang bersangkutan.
E.     Tujuan Konsistran
1.      Mendekontaminasi ES yang terganggu.
2.      Membantu menggunakan ketiga ES secara baik dan lentur.
3.      Membantu menggunakan ego state adult secara optimal.
4.      Mendorong berkembangnya :
a.       Life positon SOKO
b.      Life script baru dan produktif
F.     Teknik/prosedur Konsistran
1.      Konseling analisis transaksional (konsistran) dilaksanakan melalui prosedur kelompok, atas dasar kontrak antara klien dan konselor.
2.      Proses konseling melalui tahap-tahap :
a.       Analisis sruktur : membantu klien memahami struktur ego state-nya sendiri. Atau dengan kata lain menjelaskan kepada klien bahwasanya kita sebagai indvidu mengemban tiga ego state dan menjelaskan tentang ego state itu satu persatu, sehingganya individu itu sadar ego state yang mana yang lebih dominan dalam dirinya.
b.      Analisis transaksional : membantu klien memahami transaksi yang hendaknya dikembangkan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, konselor menganalisis pola transaksi dalam kelompok, sehingganya konselor dapat mengetahui ego state yang mana yang lebih dominan dan apakah ego state yang ditampilkan tersebut sudah tepat atau  belum.
c.       Analisis game : konselor menginterpretasikan game yang dilakukan klien dan mengkonfirmasikannya / konselor menganalisis suasana permainan yang diikuti oleh klien untuk mendapat sentuhan, setelah itu dilihat apakah klien mampu menanggung resiko atau malah bergerak kearah resiko yang tingkatnya lebih rendah.
d.      Analisis script (naskah hidup) : mendalami dan menganalisis life script klien. Hal ini dilakukan apabila konselor sudah meyakini bahwasanya kliennya terjangkiti posisi hidup yang tidak sehat.
3.      Karakteristik konselor :
a.       Berpengalaman dalam penyelenggaraan proses kelompok : menganalisis ego states, transaksi, game dan life script.
b.      Hangat, empatik.
4.      Teknik :
a.       Permission : memperbolehkan klien melakukan apa yang tidak diperbolehkan oleh orang tuanya. Dengan cara ini konselor akan dapat melihat ego state mana yang dominan pada klien, posisi hidup mana yang dipilihnya, bagaimana naskah hidupnya dan pola pemainan mana yang diplihnya dalam memperoleh sentuhan.
b.      Protection : melindungi klien dari ketakutannya sebagai akibat melaksanakan hal-hal yang dilarang orang tuanya. Dalam kegiatan konseling diciptakan rasa aman sehingga klien merasa dirinya aman meskipun dia melakukan apa saja.
c.       Potency : mendorong klien menjauhkan diri dari injuction yang diberikan orang tuanya. Disini konselor dituntut untuk mampu memberikan sesuatu dan  mampu berbuat sesuatu demi kepentingan, kemajuan, dan kesejahteraan klien.
d.      Operation :
1.      Interrogation : mengkonfrontasikan kesenjangan-kesenjangan yang ada pada diri klien sehingga berkembang respon-respon adult dalam klien.
2.      Specification : mengkhususkan hal-hal yang dibicarakan sehingga ketiga ego state terpahami oleh klien.
3.      Confrontation : menunjukkan kesenjangan/ketidaktuntasan pada diri klien.
4.      Explanation : transaksi adult-adult antara klien dan konselor untuk menjelaskan mengapa klien berbuat seperti apa yang dilakukannya (konselor “mengajar” klien).
5.      Illustration : membicarakan contoh, dengan humor dan pengajaran (untuk memperlihatkan bahwa ego state adult dan child dapat dipergunakan secara tepat).
6.      Confirmation : mendorong klien untuk bekerja lebih keras.
7.      Interpretation : membantu klien menyadari latar belakang dari tingkah lakunya (prosedur psikoanalisis)
8.      Crystalization : menjelaskan pada klien bahwa klien telah siap untuk menjalani games untuk memperoleh strokes yang diperlukan.
G.    Kekuatan Konsistran
Beberapa kekuatan konseling analisis transaksional menurut Muhammad Surya (2003:46) yaitu :
1)      Terminology yang sederhana dapat dipelajari dengan mudah diterapkan dengan segera pada perilaku yang kompleks
2)      Klien diharapkan dan didorong untuk mencoba dalam hubungan di luar ruang konseling untuk mengubah tingkah laku yang salah
3)      Perilaku klien disini dan sekarang, merupakan cara untuk membawa perbaikan klien. Penekanan pada pengalaman masa kini dan lingkungan sosial.